KISAH 47 RONIN
Kisah Empat Puluh Tujuh Ronin (Akō rōshi?, ronin dari Akō)
adalah peristiwa pembalasan dendam 47 ronin dari Akō di bawah pimpinan Ōishi
Kuranosuke Yoshitaka, yang membalas
dendam atas kematian majikan bernama Asano Takumi no Kami dengan cara melakukan
penyerbuan ke rumah kediaman pejabat tinggi istana Kira Kōzuke no Suke
Yoshihisa dan membunuhnya.
Peristiwa pembunuhan Kira Kōzuke no Suke Yoshihisa dikenal
sebagai Genroku Akō jiken Peristiwa Akō era Genroku karena terjadi tanggal 14
bulan 12 tahun ke-15 era Genroku atau 30 Januari 1703. Di kota Akō (Prefektur
Hyogo) yang merupakan tempat asal 47 ronin, kisah ini dikenal sebagai Akōgishi
Perwira setia dari Akō). Di Jepang sebelum Perang Dunia II, kisah ini umum dikenal
sebagai Akōgishi dan dijadikan teladan kesetiaan samurai terhadap majikannya.
Seusai Perang Dunia II, kisah ini lebih dikenal sebagai Akō rōshi (ronin dari
Akō) atau Shijūshichishi (47 samurai) berkat kepopuleran novel karya Osaragi
Jirō yang kemudian diangkat menjadi drama televisi.
Pada tanggal 14 Maret 1701, Asano Takumi no Kami bertengkar
dengan pejabat tinggi (Kōke) bernama Kira Kōzuke no Suke Yoshihisa dan
melukainya dengan wakizashi di ruangan bernama Matsu no Ōrōka (tempat berkumpul
daimyo) di dalam Istana Edo. Tokugawa Tsuneyoshi yang menjabat Seii Taishogun
menjadi sangat marah atas peristiwa penyerangan dengan benda tajam yang terjadi
di lingkungan istana dan memerintahkan Asano Takumi no Kami untuk melakukan
seppuku pada hari yang sama.
Hukuman juga dijatuhkan terhadap keluarga Asano
Takumi no Kami (klan Akō Asano) dalam bentuk pencabutan semua wilayah kekuasaan
klan Akō Asano di Akō, sehingga para pengikutnya harus menjadi ronin. Kira Kōzuke
no Suke Yoshihisa yang juga terlibat dalam peristiwa ini justru tidak mendapat
hukuman apa-apa.
Sebagian besar bushi wilayah han Akō dan Ōishi Kuranosuke
yang menjabat penasehat utama bagi Asano Takumi no Kami merasa sangat tidak
puas dengan keputusan tidak adil yang dijatuhkan pemerintah Bakufu. Hukuman
yang dijatuhkan pemerintah Bakufu dianggap melanggar prinsip "kedua belah
pihak yang bertengkar harus dihukum “kenka ryōseibai” yang merupakan hukum
kelas samurai. Pertemuan yang dilakukan Istana Akō berakhir dengan kebingungan
antara mematuhi Keshogunan Edo untuk menyerahkan istana atau melakukan
perlawanan dengan bertahan di dalam istana sampai mati.
Setelah menerima surat sumpah dari para samurai yang berisi
kebulatan tekad untuk melakukan bertahan dari dalam istana dan melakukan
perlawanan sampai mati, Ōishi Kuranosuke berjanji untuk memohon kepada
Keshogunan Edo agar memulihkan semua hak yang pernah dimiliki klan Akō Asano
dan menghukum Kira Kōzuke no Suke. Istana Akō lalu diserahkan kepada pemerintah
Bakufu untuk menghindari pertumpahan darah dan akibatnya semua samurai wilayah
han menjadi ronin dan berpencar ke berbagai daerah seperti Edo dan Kamigata.
Ōishi Kuranosuke yang berusaha keras memulihkan kekuasaan
klan Asano banyak didukung mantan samurai wilayah han Akō. Jumlah orang yang
ikut serta dalam sumpah setia semakin hari semakin bertambah menjadi lebih dari
120 orang. Ōishi Kuranosuke berusaha memulihkan kejayaan klan seperti semula
dan meminta adik almarhum Asano Takumi no Kami yang bernama Asano Daigaku untuk
menjadi kepala klan.
Sementara itu, Horibe Taketsune dan para ronin membentuk
kelompok radikal di Edo. Kelompok radikal merasa tidak sabar dengan usaha
pemulihan yang dinilai lambat dan berkeras hati untuk membalas dendam dengan
cara membunuh Kira Kōzuke no suke. Ōishi Kuranosuke yang mencoba segala macam
cara untuk mengembalikan kejayaan klan Asano ternyata banyak mendapat hambatan
dari sana-sini. Kehidupan sehari-hari para ronin juga menjadi semakin sulit,
beberapa orang ronin bahkan mulai berubah pikiran dan tidak lagi mendukung
surat sumpah yang pernah ditulis.
Pada bulan Juli 1702, usaha untuk memulihkan kejayaan klan
Akō kandas di tengah jalan setelah Asano Daigaku menerima hukuman dari
pemerintah Bakufu berupa kurungan seumur hidup di kediaman keluarga yang
merupakan garis keturunan utama klan Asano di wilayah han Hiroshima. Ōishi
Kuranosuke lalu mengumpulkan para ronin di Maruyama (Kyoto). Pertemuan ini
nantinya dikenal sebagai Pertemuan Maruyama. Hasil pertemuan di Murayama memutuskan
untuk melakukan pembunuhan balas dendam (adauchi) terhadap Kira Kōzuke no Suke.
Sebelum memutuskan hasil pertemuan, Ōishi Kuranosuke menguji
kembali niat balas dendam para ronin. Ōishi Kuranosuke menawarkan untuk
mengembalikan semua surat sumpah kepada masing-masing ronin dan menganggapnya
sebagai tidak pernah ada. Hampir separuh dari para ronin yang ingin melakukan
balas dendam kemudian berubah pikiran terutama para ronin yang yang
berpenghasilan tinggi. Rencana pembunuhan balas dendam hanya dibicarakan dengan
para ronin yang menolak pengembalian surat sumpah. Pada akhirnya, jumlah ronin
yang berniat melakukan pembunuhan balas dendam menciut menjadi tinggal 47
orang.Lokasi rumah kediaman Kira Kōzuke no Suke,dini hari pada tanggal 15
Desember 1702, 47 ronin menyerbu masuk ke rumah kediaman Kira Kōzuke no Suke
yang berada di Honjo Matsuzaka dan Kira Kōzuke no Suke berhasil dibunuh.
Kawanan 47 ronin membawa pulang penggalan kepala Kira Kōzuke no Suke dan
mempersembahkannya di atas makam Asano Takumi no Kami yang terletak di kuil
Sengakuji. Kawanan 47 ronin lalu memberitahu sang majikan di alam sana bahwa
pembalasan dendam telah berhasil.
Salah seorang ronin yang bernama Terasaka Nobuyuki
memisahkan diri dari kelompok, sehingga kawanan ronin menjadi hanya berjumlah
46 orang. Setelah itu, Ōishi Kuranosuke menyerahkan diri dan pasrah atas semua
hukuman yang bakal dijatuhkan pemerintah Bakufu. Pemerintah Bakufu menitipkan
para ronin di rumah 4 orang daimyo. Dalam sekejap, para ronin yang berhasil
membunuh Kira Kōzuke no Suke menjadi terkenal di kota Edo. Penduduk Edo
memuji-muji kelompok ronin sebagai samurai yang setia (gishi) karena berhasil
menuntaskan kewajiban sebagai bentuk kesetiaan terhadap sang majikan. Walaupun
demikian, perbuatan para ronin membentuk kelompok tanpa seizin pemerintah
Bakufu dan melaksanakan pembunuhan balas dendam merupakan kejahatan yang
hukumannya adalah hukuman mati.
Pemerintah shogun Tokugawa Tsuneyoshi selalu menekankan
pentingnya arti kesetiaan di kalangan para perwira, sehingga nyawa para ronin
perlu diampuni karena pembunuhan yang dilakukan adalah bentuk kesetiaan samurai
terhadap majikan. Dari segi hukum, perbuatan para ronin tetap merupakan
kejahatan yang pantas menerima hukuman mati. Mayoritas pendapat meminta pengampunan
nyawa para ronin yang dianggap hanya menjalankan kewajiban sebagai pengikut
setia sang majikan. Shogun Tsuneyoshi merasa kuatir akan pecahnya pemberontakan
akibat pemberian perlakuan khusus terhadap para ronin dengan mengabaikan hukum
yang ada. Para ronin akhirnya diperintahkan untuk mati secara terhormat dengan
melakukan seppuku.
Pada tanggal 4 Februari 1703, 46 ronin dari Akō melakukan
seppuku di halaman rumah kediaman para daimyo tempat mereka dititipkan.
Kekecewaan meluas di kalangan rakyat akibat cara pemerintah menyelesaikan kasus
ini. Di kalangan rakyat lalu beredar cerita Kanadehon Chūshingura dalam bentuk
kesenian Ningyō Jōruri (Bunraku). Cerita Kanadehon Chūshingura yang sekarang
lebih dikenal sebagai Chūshingura (kumpulan cerita pengikut yang setia) sangat
mengagungkan kesetiaan para ronin terhadap sang majikan. Penulis cerita
menyamarkan nama-nama tokoh yang terlibat peristiwa Akō rōshi untuk menghindari
sensor pemerintah Bakufu. Judul cerita Kanadehon Chūshingura juga mempunyai
arti terselubung, kata "Kanadehon" sama artinya dengan angka 47.
Kanadehon adalah buku berisi contoh untuk berlatih menulis aksara hiragana yang
terdiri dari 47 aksara.
Kelompok ronin dari Akō dimakamkan di kuil Sengakuji. Sampai
saat ini, setiap tahunnya di kuil Sengakuji dilangsungkan Gishisai (upacara
kesetiaan) pada tanggal 14 Desember untuk memperingati malam penyerbuan para
ronin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar